A. Pengertian Dampak Isi Media.
Dampak
(efek) isi media adalah perubahan yang terjadi pada diri penerima pesan
komunikasi massa. David Berlo (dalam Wiryanto, 2005) mengklasifikasikan dampak
atau perubahan ini ke dalam tiga kategori, yaitu:
1. dampak
bersifat kognitif (berkaitan pengetahuan dan opini);
2. dampak
bersifat afektif (berkaitan dengan perasaan dan sikap);
3.
dampak atas perilaku.
Secara
lebih mendalam, dampak isi media juga perlu dibedakan berdasarkan antara jenis
dan arah dampak. McQuail (1987)
membedakan jenis dan arah dampak sebagai berikut:
1. dampak
yang diinginkan (konversi);
2. dampak
yang tidak diinginkan;
3. dampak
kecil (bentuk dan intensitasnya);
4. dampak
yang memperlancar perubahan (yang diinginkan atau tidak);
5.
dampak
yang memperkuat yang ada (peneguhan);
B. Tipologi Dampak Isi Media
Berbasis
pada perpaduan antara dampak yang diinginkan dengan yang tidak diinginkan dipadukan dengan dampak
jangka pendek dan panjang, McQuail membuat
tipologi dampak isi media sebagai berikut:
1. Tanggapan
individu: proses dimana individu berubah atau menolak perubahan, sebagai
tanggapan terhadap pesan yang dirancang untuk mempengaruhi pengetahuan, sikap,
atau perilaku.
2. Kampanye
media: mengisyaratkan situasi dimana sejumlah media untuk mencapai tujuan
persuasi atau informasional dalam populasi yang dipilih.
3. Reaksi
individu: konsekuensi pendekatan yang tidak direncanakan atau tidak dapat
diperkirakan oleh seseorang terhadap stimulasi media. Konsekuensi ini sebagian
besar telah diacu sebagai peniruan dan tindak-pelajaran, khususnya dari
tindakan agresif atau kriminal, dan juga gagasan dan perilaku prososial. Jenis
dampak lainnya mencakup penggantian aktivitas lain, peniruan gaya dan model,
penyatuan diri dengan para pahlawan atau bintang, rangsangan seksual,
reaksi terhadap rasa takut, kecemasan,
dan gangguan.
4. Reaksi
kolektif: di sini dampak individu yang sama dialami secara serentak oleh banyak
orang, yang menimbulkan tindakan bersama, biasanya tindakan yang tidak teratur dan tidak dilembagakan. Dampak
yang paling penting timbul dari rasa takut, cemas, dan marah, yang
mengakibatkan kepanikan dan kerusuhan sosial.
5. Penyebaran
dalam pembangunan: penyebaran inovasi yang direncanakan untuk kepentingan
pembangunan jangka panjang, dengan menggunakan serangkaian kampanye dan sarana
pengaruh lainnya, khususnya jaringan hubungan antarpribadi dan struktur
wewenang komunitas atau masyarakat.
6. Distribusi
pengetahuan: konsistensi aktivitas media dalam lingkup berita dan informasi
bagi pendistribusian pengetahuan di antara berbagai kelompok sosial, kesadaran
yang berubah-ubah tentang peristiwa, prioritas yang ditetapkan pada aspek
’realitas’.
7. Pengendalian
sosial: mengacu pada kecenderungan sistematis untuk menyebarkan konformitas
terhadap tata tertib yang diterapkan dan menegaskan keabsahan wewenang yang
ada.
8. Sosialisasi:
kontribusi media yang tidak formal terhadap pembelajaran dan penerapan norma,
nilai, dan harapan yang berlaku bagi perilaku dalam peran sosial dan situasi
tertentu.
9. Penentuan
realitas: proses yang serupa sosialisasi, tetapi berbeda karena lebih berkaitan
dengan kognisi(pengetahuan dan opini) ketimbang nilai, dan timbul dari
kecenderungan sistematis dalam media untuk menyajikan versi realitas yang tidak
lengkap dan agak tidak jelas.
10.
Perubahan lembaga: hasil adaptasi yang tidak
direncanakan oleh lembaga yang ada terhadap perkembangan dalam media, khususnya
yang mempengaruhi fungsi komunikasinya.
C. Sejarah Penelitian Dampak Isi Media.
Perkembangan
tentang dampak media dapat dikatakan memiliki natural history, karena
perkembangan itu sangat ditentukan oleh suasana waktu dan tempat serta
dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan penelitiannya, misal: kepentingan
pemerintah dan pembuat undang-undang; kebutuhan industri; aktivitas berbagai
kelompok penekan; tujuan propaganda politik dan komersial; tekanan opini
politik pada saat bersangkutan; dan model ilmu sosial.
McQuail
(1987)mengkategorikan sejarah penelitian dampak isi media ke dalam tiga tahap.
Yaitu:
1.
Tahap pertama, merentang dari awal abad ke 19
hingga akhir tahun 1930-an. Tahap ini media diasumsikan mempunyai pengaruh yang
cukup membentuk opini dan keyakinan, mengubah kebiasaan hidup. Secara aktif
media juga membentuk perilaku yang kurang lebih sesuai dengan keinginan
orang-orang yang dapat mengendalikan media dan isinya. Pandangan tentang dampak
isi media pada tahap ini tidak didasarkan atas pengkajian ilmiah, tetapi atas
dasar pengamatan kepopuleran pers serta pengaruhnya dalam banyak aspek
kehidupan sehari-hari. Keyakinan tersebut dianut bersama dan diperkuat oleh
para pengiklan dan petugas propaganda pemerintah selama perang dunia pertama.
Tahap ini dikenal juga dengan
Model Efek Tidak Terbatas, dimana komunikasi massa diyakini mempunyai pengaruh
yang sangat besar kepada audiens-nya. Efek tidak terbatas didasarkan pada Teori
Peluru (Bullet Theory) serta Teori Jarum Hipodermik. Teori Peluru beranggapan
bahwa pesan-pesan komunikasi massa ibarat peluru, jika peluru itu ditembakkan
akan mengenai sasaran. Analogi ini menunjukkan bahwa peluru mempunyai kekuatan
yang luar biasa dalam mempengaruhi sasarannya. Sedangkan Teori Jarum Hipodermis
menganalogikan pesan komunikasi seperti obat yang disuntikkan dengan jarum
kebawah kulit pasien (baca Rakmat: 1994; Nurudin: 2004).
2.
Tahap kedua, tahap ini juga dikenal sebagai
Model Efek Terbatas (limited effects model), merentang dari tahun 1930-an
hingga awal tahun 1960-an. Jenis studi yang diselenggarakan sangat beragam,
tetapi perhatian dipusatkan pada kemungkinan penggunaan film dan media lain
untuk keperluan persuasi aktif atau penyebaran informasi atau untuk menilai-
dengan tujuan pencegahan- dampak yang merusak dalam kaitannya dengan pelanggaran
hukum, prasangka, agresi, rangsangan seksual. Joseph Klapper, ilmuwan
berpengaruh pada tahap ini, menyimpulkan bahwa komunikasi massa biasanya tidak
berfungsi sebagai penyebab dampak audiens yang perlu dan memadai, melainkan
berfungsi melalui serangkaian faktor yang menengahi. Faktor sosial dan budaya-
norma kelompok, konsep diri, relasi sosial- sebagai faktor menengahi yang
mempunyai peran penting dalam membentuk pilihan, perhatian, dan tanggapan dari
audiens. Penelitian eksperimental Hovland (1942-1945) untuk menguji efek film
terhadap Tentara, menunjukkan bahwa film
hanya efektif dalam menyampaikan informasi tetapi tidak efektif dalam mengubah
sikap. Riset Cooper dan Jahoda (1947) pada kartun Mr. Biggott menunjukkan bahwa
persepsi yang lebih selektif dapat mengurangi efektifitas pesan. Penelitian
Lazarfeld (1948), The People’s Choise, menemukan bahwa hubungan pribadi tampak
lebih sering dan lebih efektif dari pada media massa dalam mempengaruhi
keputusan pemilih.
3.
Tahap ketiga, tahap ini dikenal juga sebagai
Model Efek Moderat (moderate-effects model) dan berlanjut pada Model Efek
Perkasa (Powerful Effects Model), mulai dari tahun 1960-an hingga berlangsung
sampai saat ini. pengkajian dampak isi media masih terus ditelaah, tanpa menolak
kesimpulan dari penelitian sebelumnya, tetapi didasarkan atas perbaikan
konsepsi tentang proses sosial, dan media yang mungkin terlibat. Kalau
pengkajian pada tahap sebelumnya terlalu bersandar pada model yang menelaah
korelasi antara kadar terpaan (exposure) isi tertentu dan perubahan atau
variasi sikap, opini, atau informasi yang diukur. Pembaruan penelitian dampak
ditandai dengan adanya pergeseran perhatian ke arah: perubahan jangka panjang;
kognisis ketimbang sikap dan perasaan; peran yang dimainkan isi, disposisi, dan
motivasi sebagai variabel sela (intervening variables); gejala kolektif seperti
iklim opini, struktur keyakinan, ideologi, pola budaya dan bahkan bentuk
kelembagaan. Tahap ini diawali oleh sanggahan Elihu Katz (1959), sebagai reaksi
terhadap Bernard Berelson yang menyatakan bahwa penelitian komunikasi mengenai
efek media massa sudah mati. Elihu Katz;Jay G. Blumler; dan Michael
Gurevitch mempublikasi teori uses and
gratifications. Mereka meneliti asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial,
yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain ,
yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan (atau keterlibatan pada
kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain.
Maxwell E. McComb dan Donald L. Shaw mempelopori penelitian tentang agenda
setting, mereka berhasil membuktikan bahwa media massa mempunyai pengaruh dalam
menentukan agenda publik.
Pada awal 1970-an, kampanye
media massa terbukti mempunyai efek yang penting terhadap sikap dan perilaku.
Mendelson (1973) menunjukkan bagaimana kampanye CBS perihal keselamatan
pengemudi telah mendorong 35 ribu pemirsa mendaftarkan diri pada kursus latihan
mengemudi. Maccoby dan Farquhar (1975) juga membuktikan keberhasilan media
massa dalam mengkampanyekan kesehatan untuk mengurangi penderita penyakit
jantung. Noelle Neumann (1973) mengumandangkan slogan ”kembali ke konsep media
massa yang berpengaruh”. Ia mengatakan bahwa penelitian pada Model Efek
Terbatas tidak memperhatikan tiga faktor penting dalam media massa, yaitu:
serba ada (ubiquity); kumulasi pesan; dan keseragaman (harmoni) wartawan. Tahap
ketiga ini merupakan kebangkitan kembali pemikiran tentang efektvitas
komunikasi massa.
D. Faktor-faktor yang mempengaruhi dampak
isi media
1. Faktor
individual: selektivitas perhatian, persepsi, ingatan; motivasi dan belajar;
kepercayaan, pendapat, nilai-nilai, kebutuhan; persuability; personality and
adjustment.
2.
Faktor sosial (Black dan Whitney, dalam Nurudin:
2004)
Daftar
pustaka:
Jalaluddin
Rakhmat, 1994, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya
McQuail,
1987, Teori Komunikasi Massa ed. 2, Jakarta: Erlangga
Nurudin,
2003, Komunikasi Massa, Malang: CESPUR.
Saverin
& Tankard, 2001, Communication Theories: Origins, Methods, & Uses in
the Mass Media, ed. 5th, Addison Wesley Longman, Inc.
Sumber
: http://adiprakosa.blogspot.com/search?updated-max=2013-01-08T01:29:00-08:00&max-results=7
Posting Komentar