Orang
Indonesia pasti mengenal merk Aqua, Merk ini sangat dikenal masyarakat di
seluruh daerah dari perkotaan sampai dengan pedesaan. Aqua menjadi pelopor air
minum dalam kemasan di Indonesia, yang merupakan ide dari Tirto Utomo yang
tidak lain adalah Pendiri Aqua. Tirto Utomo atau Kwa Sien Biauw dilahirkan di
Wonosobo, Jawa Tengah 8 Maret 1930. Karena di Wonosobo tidak ada SMP maka Tirto
Utomo harus bersekolah di Magelang yang berjarak sekitar 60 kilometer,
perjalanan itu ditempuh dengan sepeda. Kehidupannya tergolong lumayan karena
orangtuanya pengusaha susu sapi an pedagang ternak. Lulus SMP Tirto Utomo
melanjutkan sekolah ke HBS (sekolah setingkat SMA di zaman Hindia Belanda) di
Semarang dan kemudian di Malang. Masa remaja Tirto Utomo dihabiskan di Malang
dan di situlah dia bertemu dengan Lisa / Kienke (Kwee Gwat Kien). Seperti
lazimnya sekolah Katholik pada waktu itu maka sekolah untuk murid laki-laki dan
murid perempuan dipisah. Mereka berdua hanya sempat bertemu di lapangan
sekolah.
Selama dua tahun kuliah di Universitas Gajah
Mada yang ada di Surabaya, dia mengisi waktu luang dengan menjadi wartawan Jawa
Pos dengan tugas khusus meliput berita-berita pengadilan. Namun, karena kuliah
tidak menentu, akhirnya Tirto pindah ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Di Jakarta sambil kuliah ia bekerja sebagai Pimpinan Redaksi harian Sin Po dan
majalah Pantja Warna. Pada tahun 1954 selepas SMA di Malang, Lisa masuk
Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Sambil kuliah, Lisa bekerja di British
American Tobacco (BAT Indonesia). Maret 19555 Lisa gagal mengikuti ujian
kenaikan tingkat dan kemudian memutuskan berhenti kuliah. Saat Lisa mengajar
bahasa Inggris di Batu Ceper, menjadi guru SD Regina Pacis, dan menerima jasa
penerjemahan dan pengetikan, Lisa dilamar Tirto dan mereka menikah pada 21
Desember 1957 di Malang.
Musibah datang pada tahun 1959. Tirto
diberhentikan sebagai pemimpin redaksi Sin Po. Akibatnya sumber keuangan
keluarga menjadi tidak jelas. Namun, akibat peristiwa itulah Tirto Utomo
memiliki kemauan yang bulat untuk menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum UI.
Sementara Lisa berperan sebagai pencari nafkah yaitu dengan mengajar dan
membuka usaha catering, Tirto belajar dan juga ikut membantu istrinya. Pada
Oktober 1960 Tirto Utomo berhak menyandang gelar Sarjana Hukum. Setelah lulus,
Tirto Utomo melamar ke Permina (Perusahaan Minyak Nasional) yang merupakan
cikal bakal Pertamina. Setelah diterima, ia ditempatkan di Pangkalan Brandan.
Di sana, keperluan mandi masih menggunakan air sungai. Berkat ketekunannya,
Tirto Utomo akhirnya menanjak karirnya sehingga diberi kepercayaan sebagai
ujung tombak pemasaran minyak.
Kedudukan
Tirto Utomo sebagai Deputy Head Legal dan Foreign Marketing membuat sebagian
besar hidupnya berada di luar negeri. Pada usia 48 tahun, Tirto Utomo memilih
pensiun dini untuk menangani beberapa perusahaan pribadinya yakni AQUA, PT.
Baja Putih, dan restoran Oasis. Aqua didirikan dengan modal bersama adik
iparnya Slamet Utomo sebesar Rp 150 juta. Mereka mendirikan pabrik di Bekasi
tahun 1973 dengan nama PT. Golden Mississippi dan merek produksi Aqua. Karyawan
mula-mula berjumlah 38 orang. Mereka menggali sumur di pabrik pertama yang
dibangun di atas tanah seluas 7.110 meter persegi di Bekasi. Setelah bekerja
keras lebih dari setahun, produk pertama Aqua diluncurkan pada 1 Oktober 1974.
Bagaimana nama Aqua ini terbentuk? Desainer
Singapura yang merancang logonya mengusulkan nama Aqua. Kata Eulindra Lim, sang
desainer tersebut, Aqua mudah diucapkan dan mudah diingat selain bermakna
‘air’. Aqua sebenarnya bukan nama asing baginya. Dia sendiri sering memakai
nama samaran ‘A Kwa’ yang bunyinya mirip dengan ‘Aqua’ semasa masih menjadi
pemimpin redaksi harian Sin Po dan majalah Pantja Warna di akhir tahun 1950.
Nama A Kwa sendiri diambil dari nama aslinya yaitu Kwa Sien Biauw sedangkan
nama Tirto Utomo mulai dipakainya pertengahan tahun 1960-an yang tidak sengaja
diambil yang berarti ‘air yang utama’.
“Dulu
bukan main sulitnya. Dikasih saja orang tidak mau. ‘Untuk apa minum air
mentah’, itulah celaan yang tak jarang kami terima,” ujar Willy Sidharta. Saat
itu minuman rignan berkabonasi seperti Cola Cola, Sprite, 7 Up, dan Green Spot
sedang naik daun sehingga gagasan menjual air putih tanpa warna dan rasa, bisa
dianggap sebagai gagasan gila.
Hingga
1978 penjualan Aqua tersendat-sendat. Tidak heran bila Tirto Utomo sendiri
mengakui hampir menutup perusahaannya karena sekitar lima tahun berdiri tetapi
titik impas belum juga dapat diraih. Ia tidak tahan harus menombok terus
menerus. Tetapi selalu ada rezeki bagi orang yang ulet dan tabah. Tirto Utomo
bersama manajemennya akhirnya mengeluarkan jurus pamungkas dengan menaikkan
harga jual hampir tiga kali lipat. Waktu itu ide ini bisa dibilang juga bisa
dibilang ide gila. Masa, ketika dalam kesulitan keuangan, bukannya menurunkan
harga agar para pelanggan berminat tapi malah menaikkan harga. Tirto sendiri
sudah menyiapkan antisipasi sekiranya upaya itu bakal menyebabkan penurunan
omset. Namun, pasar bicara lain. Omset bukannya menurun malahan terdongkrak
naik. Agaknya orang menilai harga tinggi sama dengan mutu tinggi. Aqua pun
mulai melayani segmen yang tertarik untuk berlangganan.
Pada
tahun 1982, Aqua mengganti bahan baku (air) yang semula berasal dari sumur bor
ke mata air pegunungan yang mengalir sendiri (self-flowing spring) karena
dianggap mengandung komposisi mineral alami yang kaya nutrisi seperti kalsium,
magnesium, potasium, zat besi, dan sodium. Salah satu pelanggannya yaitu
kontraktor pembangunan jalan tol Jagorawi, Hyundai. Dari para insinyur Korea
Selatan itu, kebiasaan minum air mineral pun menular kepada rekan kerja pribumi
mereka. Melalui penularan semacam itulah akhirnya air minum dalam kemaasan
diterima di masyarakat. Penampilan Tirto sehari-hari sangat sederhana, ramah,
murah senyum, namun cerdas berpikir. Dalam hubungannya dengan bawahan, ia menganut
gaya manajemen kekeluargaan dan mempercayai kemampuan karyawannya melalui
sejumlah pengembangan dan pelatihan manajemen. Pada waktu itu biaya pengemasan
dapat mencapai 65% dari biaya produksi. Melihat itu, Tirto Utomo kemudian
menyetujui ide Willy untuk menggabungkan pabrik botol dengan bisnis air
mineralnya yang bernama PT. Tirta Graha Parama.
Saat
ini, keluarga Tirto Utomo bukan lagi pemegang saham mayoritas karena sejak
tahun 1996 perusahaan makanan asal Prancis Danone menguasai saham mayoritas,
sedangkan saham keluarga ‘tinggal’ 26 persen. Meskipun demikian, Willy
Sidharta, yang merupakan anak kandung dari Tirto Utomo sendiri, memegang
jabatan direktur dalam perusahaan tersebut. Pilihan bergabung dengan perusahaan
multinasional diakui membuat langkah Aqua semakin lincah. Ketatnya persaingan
industri air mineral menuntut upaya-upaya agresif. Sejak itu, terjadi perubahan
besar dalam manajemen Aqua. Dalam produksi, Aqua juga melonjak tajam, dari 1
miliar liter sekarang mencapai 3.5 miliar liter. Aqua menguasai 40% pangsa
pasar air mineral di dalam negeri.
“Banyak
orang mengira bahwa memproduksi air kemasan adalah hal yang mudah. Mereka pikir
yang dilakukan hanyalah memasukkan air kran ke dalam botol. Sebetulnya,
tantangannya adalah membuat air yang terbaik, mengemasnya dalam botol yang baik
dan menyampaikannya ke konsumen.” Kata Tirto Utomo.
Tirto
Utomo memang sudah wafat pada tahun 1994 namun prestasi Aqua sebagai produsen
air minum dengan merek tunggal terbesar di dunia tetap dipertahankan sampai
sekarang.
Sumber
: http://kolom-biografi.blogspot.com/2013/03/biografi-tirto-utomo-pendiri-aqua.html
Posting Komentar