Pengertian Jurnalisme Kuning
Pernahkan Anda menjumpai judul-judul berita yang bombastis, tetapi setelah dibaca isinya tidak substansial? Misalnya, “Suami Bantai istri di depan Anak”, “Mata Perampok Ojek Dicongkel Massa”, “ Gara-gara Ingin Memiliki Sepeda Motor; Pelajar Gorok Leher Teman”, “ Malu Melahirkan Hasil Hubungan Gelap: Wanita Patahkan Kaki Bayi”. Ini beberapa judul berita yang berasal dari media cetak yang pernah terbit di Jakarta.
Diantara
judul-judul itu ada kesamaan. Kasus yang sedang dibahas ditulis dengan
hiperbola. Seolah terkesan seram, angker, sadis, kejam dan semacamnya. Misalnya
pilihan kata “dibacok”, “digorok”, “tewas terpanggang”, atau “mata dicongkel”.
Padahal bisa jadi tidak seperti itu kenyataannya. Bisa jadi juga seseorang
tewas biasa, tetapi kalau sudah masuk konstruksi berita media cetak seperti itu
judul menjadi masalah lain. Dengan kata lain, ada sesuatu yang dibesar-besarkan
untuk menarik perhatian pembaca.Contoh-contoh judul di atas biasanya melekat
pada media yang dijuluki jurnalisme kuning (yellow journalism).
Jurnalisme
kuning adalah jurnalisme pemburukan makna. Ini disebabkan karena orientasi
pembuatannya lebih menekankan pada berita-berita sensasional dari pada
substansi isinya. Tentu saja, karena tujuannya untuk meninngkatkan penjualan ia
sering dituduh jurnalisme yang tidak profesional, dan tak beretika. Mengapa? Karena
yang dipentingkan adalah bagaimana caranya masyarakat suka pada beritanya.
Perkara isinya tidak sesuai dengan fakta yang terjadi, itu soal nanti.
Jurnalisme
kuning adalah jurnalisme yang menekankan pada sensasi seks, kriminal, dan
berita malapetaka; judul besar-besaran; penggambaran yang kasar; dan bergantung
pada kartun serta berwarna-warni (Stanley J.Baran, Introduction to Mass
Communication, Media Literacy and Culture, McGraw-Hill, New York, 2004, hlm.
109).
Sejarah Jurnalisme Kuning
Tahun
1895, surat kabar New York World mendapat pesaing baru yaitu surat kabar New
York Journal yang dimiliki oleh William Randolph Hearst. Sejak tahun 1895
hingga 1898 terjadi persaingan hebat antara surat kabar New York World milik
Pulitzer dan New York Journal milik Hearst. Kedua media ini saling menabuh
genderang perang dengan menyajikan berita-berita bombastis, sensasional dan
kontroversial dengan tujuan utama peningkatan oplah. Persaingan sengit ini
kemudian dikenal dengan istilah jurnalisme/koran kuning. Istilah ini diberikan
oleh kalangan pers AS karena kedua koran tersebut sering menyajikan berita
murahan untuk mencari sensasi dan menarik minat pembaca. Selain itu, keduanya
juga sama-sama memuat serial komik The Yellow Kid (Bocah Kuning).
Akibat
terlalu sering mempraktekkan jurnalisme kuning, Joseph Pulitzer pernah diseret
ke meja hijau atas tuduhan pencemaran nama baik Presiden AS (waktu itu)
Theodore Roosevelt dan pengusaha besar J. P. Morgan. Pada tahun 1909, surat
kabar New York World memberitakan adanya transaksi palsu senilai USD 40 juta
dolar dalam pembelian Terusan Panama yang melibatkan dua orang penting
tersebut. Beruntung dalam persidangan, hakim membebaskannya dari segala tuduhan
atas dasar kebebasan pers.
Tidak
hanya itu, kurang lebih seratus tahun lalu, rakyat Amerika berang dengan
tenggelamnya USS Maine yang menewaskan seluruh awaknya di lepas Pantai Kuba.
Rakyat Amerika menuduh Spanyol menyerang kapal tersebut yang menyebabkan
pecahnya perang Spanyol-Amerika. Ironisnya, setelah perang usai diketahui USS
Maine tenggelam karena kecelakaan di kapal tersebut, yang pada awal permulaan
konflik diberitakan oleh media massa Amerika, dengan sensasionalitas yang luar
biasa, karena diledakkan Spanyol. Untuk pertama kalinya kekuatan media unjuk
gigi dalam memengaruhi kebijakan pemerintah untuk berperang dengan
mempraktikkan apa yang disebut yellow journalism.
Berjarak
seratus tahun dari peristiwa Spanish-America War, di belahan dunia lain,
Indonesia dan Malaysia, dua negara serumpun terlibat ketegangan akibat salah
satunya mengabaikan prinsip bertetangga yang baik. Klaim terhadap wilayah
teritorial, penggunaan ikon pariwisata Indonesia yang tidak semestinya, dan
perlakuan kasar warga negara Indonesia oleh Malaysia, menyebabkan masyarakat
Indonesia menjadi berang.
Pada
dasarnya, jurnalisme kuning (yellow journalism) merupakan fenomena jurnalisme
yang melanda AS di era akhir 1800-an dan awal 1900-an. Persaingan untuk
meningkatkan penjualan oplah, atau dalam era sekarang untuk mendorong klik
(dalam media dotcom) atau rating dalam media TV, membuat media di New York pada
saat itu memberitakan skandal-skandal dan mengemas pemberitaan secara
sensasional.
Jurnalisme
kuning pun sempat mewarnai dunia pers Indonesia, terutama setelah Soeharto
lengser dari kursi presiden. Judul dan berita yang bombastis mewarnai
halaman-halaman muka koran-koran dan majalah-majalah baru. Namun tampaknya,
jurnalisme kuning di Indonesia belum sepenuhnya pudar. Terbukti hingga saat ini
masih ada koran-koran yang masih menyuguhkan pemberitaan sensasional semacam
itu.
Falsafah Jurnalisme Kuning
Ciri
khas jurnalisme kuning adalah pemberitaannya yang bombastis, sensasional, dan
pembuatan judul utama yang menarik perhatian publik.
Tujuannya
hanya satu,: agar masyarakat tertarik. Setelah tertarik diharapkan masyarakat
membelinya. Ini sesuai dengan psikologi komunikasi massa. Orang akan tertarik
untuk membaca atau membeli koran, yang diperhatikan pertama kali adalah
judulnya. Apalagi judul-judul yang dibuat sangat bombastis. Bahkan untuk
menarik perhatian pembaca, judul-judul yang dibuat ditulis secara besar-besaran
dengan warna yang mencolok dan tak jarang disertai dengan gambar yang sadis.
Beberapa
Teori infotaimen dalam Jurnalisme Kuning
Hubungannya dengan penelitian ini, peneliti mengangkat dua teori komunikasi massa, yaitu agenda setting model dan diffusion of innovation theory:
1. Agenda setting model
Hubungannya dengan penelitian ini, peneliti mengangkat dua teori komunikasi massa, yaitu agenda setting model dan diffusion of innovation theory:
1. Agenda setting model
Teori
ini dikemukakan oleh M.E. Mc Combs dan D.L. Shaw dalam Public Opinion Quarterly
terbitan tahun 1972 yag berjudul The Agenda Setting Function of Mass Media.
Mereka mengatakan bahwa jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa,
maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Mereka
menjelaskan bahwa ada korelasi positif yang cukup signifikan antara penekanan
berita dan penilaian berita oleh khalayak (Effendi, 1993: 287).
2.
Diffusion of innovation theory
Teori
ini muncul pada artikel yang berjudul The People’s Choice tahun 1944 yang
ditulis oleh Paul Lazarfeld, Benard Berelson, dan H. Gaudet. Mereka mengatakan
bahwa komunikator yang mendapatkan pesan dari media massa sanga kuat untuk
mempengaruhi orang-orang. Dengan kata lain, ketika ada informasi baru dan
inovatif, lalu disebarkan (difusi) melalui media massa, maka akan sangat kuat
mempengaruhi massa untuk mengikutinya (Nurudin 2003: 177).
Inilah yang sebenarnya terjadi pada jurnalisme infotainment. Wartawan infotainment sebenarnya mengorek-orek berita yang tidak penting. Misalnya mengenai peceraian seorang artis. Tapi yang membuatnya menjadi penting adalah penekanan pada unsur artis/ figure yang ditampilkan serta frekuensi penayangan informasi tersebut. Terlepas dari unsur pentingnya informasi, hal yang demikian juga telah melanggar ruang privasi artis. Pelanggaran terjadi ketika sesuatu yang seharusnya berada pada ruang privat diangkat oleh wartawan dan tersebar ke ruang publik. Dan patut disayangkan, undang-undang yang mengatur hal-hal yang demikian belumlah cukup. Wajar jika terjadi pelanggaran di mana-mana.
Inilah yang sebenarnya terjadi pada jurnalisme infotainment. Wartawan infotainment sebenarnya mengorek-orek berita yang tidak penting. Misalnya mengenai peceraian seorang artis. Tapi yang membuatnya menjadi penting adalah penekanan pada unsur artis/ figure yang ditampilkan serta frekuensi penayangan informasi tersebut. Terlepas dari unsur pentingnya informasi, hal yang demikian juga telah melanggar ruang privasi artis. Pelanggaran terjadi ketika sesuatu yang seharusnya berada pada ruang privat diangkat oleh wartawan dan tersebar ke ruang publik. Dan patut disayangkan, undang-undang yang mengatur hal-hal yang demikian belumlah cukup. Wajar jika terjadi pelanggaran di mana-mana.
Namun,
sebenarnya hal tersebut juga tidak bisa sepenuhnya disalahkan kepada wartawan
sebagai pelaku media. Karena dilema tersebut dibenturkan pada kerja-kerja
profesional yang menuntut standardisasi kerja pers. Dalam buku Sembilan Elemen
Jurnalisme, Bill Kovach menyebut salah satu unsur dan sarat penting sebuah
peristiwa yang dapat dijadikan berita adalah adanya nilai berita yang salah
satunya mengusung publik figur. Sehingga peristiwa apapun,-walaupun perihal
yang sangat biasa, menjadi penting dan bernilai berita tatkala bersinggungan
dengan kehidupan seorang public figur. Termasuk di dalamnya kehidupan artis
yang telah merambah pada pemahaman seorang publik figur.
Jurnalisme Kuning dan Etika Pers
Etika
pers adalah filsafat di bidang moral pers, yaitu bidang yang mengenai
kewajiban-kewajiban pers dan tentang apa yang merupakan pers yang baik dan yang
buruk, pers yang benar dan pers yang salah, pers yang tepat dan pers yang tidak
tepat. Pers yang baik adalah pers yang memberikan informasi dan fakta yang
benar dari berbagai sumber sehingga khalayak pembaca dapat menilai sendiri
informasi yang benar.
Jurnalisme
kuning, tentu bukan fenomena baru dan bahkan tidak asing lagi bagi masyarakat
kita. Dengan mudah kita akan mengidentifikasi sejumlah media yang terkategori
media hiburan sebagai pengamal setia jurnalisme kuning di Indonesia.
Pengamalan
jurnalisme kuning tidak selamanya dimonopoli oleh media tidak serius, sepert
media massa. Dalam derajat tertentu, media yang terkategori serius pun sering
mengamalkan jurnalisme kuning, terutama media-media yang memiliki agenda
tertentu dan berafiliasi terhadap garis pemikiran tertentu. Salah satu contoh,
media-media yang bermunculan pada konflik Maluku di awal masa reformasi yang
secara sensasionalitas mengumbar gambar-gambar vulgar disertai
analisis-analisis dangkal dengan penyebutan kelompok agama tertentu sebagai
musuh yang harus dibasmi.
Namun
demikian, jurnalisme kuning pada satu sisi, dapat mendorong dan menjadi alat
efektif dalam mendorong perubahan. Namun dalam sisi lain, Jurnalisme kuning
dapat pula memicu kekerasan dan radikalisasi
Buku
dan tayangan yang digambarkan seluruhnya boleh dikatakan hasil investigasi
wartawan. Artinya seluruh proses kerja penggarapan cerita dan tayangan di atas
adalah kegiatan jurnalistik. Wartawan bekerja dengan mengikuti prinsip dan
kaidah jurnalistik dalam menghadirkan nara sumber, mengambil gambar, dan
melakukan proses editing ketat atas program mereka. Mereka telah menghadirkan
informasi (baca : cerita) yang lain dari biasanya. Tentu saja kita tidak bisa
menghakimi segala upaya insan jurnalis ini sebagai provokator menuju pada
sosialisasi nilai free sex dan istilah negatif lainnya. Kita bisa menyaksikan
kesungguhan dan semangat profesionalisme itu dalam dunia cetak.
contoh :
contoh :
Sumber:
http://danankphoenix.wordpress.com/2010/04/15/jurnalisme-kuning/
http://danankphoenix.wordpress.com/2010/04/15/jurnalisme-kuning/
Posting Komentar