Comic Strip yang sering
kita lihat sehari-hari sebenarnya sudah menjadi tampilan pada dekorasi tembok
di Mesir sekitar 2000 tahun sebelum masehi, menceritakan banyak hal yang
terjadi di Mesir waktu itu dari mulai tata cara kehidupan keseharian,
pemerintahan sampai adu gulat antar prajurit. Leonardo Da Vinci juga
menampilkan gerakan tangan yang berputar pada karya besarnya yaitu Vitruvian
Man. Illustrasi malaikat-malaikat pada mural gereja karya Giotto juga
memperlihatkan repetisi gerakan yang kontinyu. Di Jepang orang menggunakan
gulungan gambar untuk menceritakan cerita panjang sama seperti layaknya Wayang
Beber di Jawa. Pada tembok Candi Borobudur juga terdapat urutan cerita tentang
perjalan tiga babak Sidharta Gautama.
Namun seiring dengan
perjalanan waktu manusia mencoba tidak hanya menangkap gambar tapi juga
berupaya membuat karya artistiknya menjadi hidup dan bergerak. Sejak mula
gambar babi hutan di dinding gua Altamira-Spanyol Utara hingga perjalanan
kematian para Firaun adalah sebuah kronologi panjang yang dicoba untuk
dikumpulkan sebagai bahan awal mula dari animasi.
Animasi, sebenarnya
tidak akan terwujud tanpa didasari pemahaman mengenai prinsip fundamental kerja
mata manusia atau dikenal dengan nama The Persistance of Vision.
Seperti ditunjukan pada karya seorang Prancis Paul Roget (1828),
penemu Thaumatrope. Sebuah alat berbentuk kepingan yang dikaitkan
dengan tali pegas diantara kedua sisinya. Kepingan itu memiliki dua gambar pada
sisinya. Satu sisi bergambar burung, satu sisi lainnya bergambar sangkar
burung. Ketika kepingan berputar maka burung seolah masuk kedalam sangkarnya.
Proses ini ditangkap oleh mata manusia dalam satu waktu, sehingga mengekspose
gambar tersebut menjadi gerak.
Dua penemuan berikutnya
semakin menolong mata manusia.Phenakistoscope, ditemukan oleh Joseph
Plateu (1826), merupakan kepingan kartu berbentuk lingkaran dengan
sekelilinganya di penuhi lubang-lubang dan gambar berbentuk obyek tertentu.
Mata akan melihat gambar tersebut melalui cermin dan pegas membuatnya berputar
sehingga satu serial gambar terlihat secara progresif menjadi gambar yang
bergerak kontinyu. Teknik yang sama di tampilkan pada alat bernama Zeotrope,
ditemukan oleh Pierre Desvignes (1860), berupa selembar kertas
bergambar yang dimasukan pada sebuah tabung.
Phenakistoscope dan
Zeotrope
Pengembangan kamera
gerak dan projector oleh Thomas Alfa Edison serta para penemu
lainnya semakin memperjelas praktika dalam membuat animasi. Animasi akhirnya
menjadi suatu hal yang lumrah walaupun masih menjadi “barang” mahal pada waktu
itu. Bahkan Stuart Blackton, diberitakan telah membuat membuat film
animasi pendek tahun 1906 dengan judul “Humourous
Phases of Funny Faces”, dimana prosesnya dilakukan dengan cara menggambar
kartun diatas papan tulis, lalu difoto, dihapus untuk diganti modus geraknya
dan di foto lagi secara berulang-ulang. Inilah film animasi pertama yang
menggunakan “stop-motion” yang dihadirkan di dunia.
Pada awal abad ke dua
puluh, popularitas kartun animasi mulai menurun sementara film layar lebar
semakin merajai sebagai alternatif media entertainment. Publik mulai bosan
dengan pola yang tak pernah berganti pada animasi tanpa didalamnya terdapat
story line dan pengembangan karakter. Apa yang terjadi pada saat itu merupakan
kondisi dimana mulai terentang jarak antara film layar lebar dan animasi,
kecuali beberapa karya misalnya Winsor McCay yang berjudul Gertie
the Dinosaur, 1914. McCay telah memulai sebuah cerita yang mengalir
dalam animasinya ditambah dengan beberapa efek yang mulai membuat daya tarik
tersendiri. Hal ini juga mulai terlihat pada karya Otto Messmer, Felix
the Cat.
“Plots? We never
bothered with plots. They were just a series of gags strung together. And not
very funny, I’m afraid.” – Dick Huemer, 1957
Pada era ini, cerita
animasi masih banyak terpengaruh pola cerita klasik, mungkin masih terasa
hingga saat ini. Tipikal ceritanya selalu dengan tokoh yang menjadi hero dan
musuhnya. Industri animasi mulai kembali menanjak di Amerika manakala
komersialiasi mulai merambah dunia tersebut. Cerita and strory line pun mulai
beragam disesuaikan dengan demand publik. Industri-industri film raksasa mulai
membuat standardisasi animasi yang laku di pasaran. Biaya produksi pun dapat
ditekan dan tidak setinggi dulu. Akhirnya kartun mulai memasuki era manufaktur
dipertengahan abad ke dua puluh.
Posting Komentar