Tak Lama Lagi, Indonesia Jadi Mercusuar Bisnis Film Asia Tenggara

0 komentar
Ada yang tahu bahwa wig yang dikenakan di diproduksi di Bali? Wig itu dibuat di wilayah Ubud, bersama beberapa material produksi lainnya, sejak tahun 1990 – berawal dari workshop kecil – oleh Orlando Bassi. Selain “Les Miserables,” wig yang dibuat oleh Orlando dan timnya di Ubud juga bisa dilihat di “10,000 BC” dan “The Whale Rider.” Orlando dan tim pernah membuat wig termahal mereka untuk desainer Thierry Mugler di spot iklan parfum ‘Alien.’

Orlando yang berkewarganegaraan Swiss itu punya hasrat untuk membuka sebuah studio film di Bali. Keinginan tersebut rasanya memang harus diwujudkan. Melihat kondisi yang ada, di mana banyak elemen di industri perfilman Nasional sedang naik-naiknya, semua infrastuktur yang mendukung berkembangnya atmosfir industri sinema Nasional harus semakin didukung dan ditingkatkan, bukan?

Di Batam, sudah dibangun Island Studio (diperkenalkan ke publik September 2011) di kawasan seluas 10 hektar. Dengan dukungan Infinite Studio Singapura, Island Studio ini menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu akan sangat mungkin jadi studio film terbesar di Asia Tenggara. Dengan panorama, letak yang strategis, dan fasilitas yang memadai (termasuk studio animasi), bukan nggak mungkin lokal maupun film internasional dengan kualitas bagus bisa diproduksi di sini. Produksi pertama Island Studio? “Dead Mine” yang dibintangi Ario Bayu dan Joe Taslim.

Di tahun 1980an, Mel Gibson dan Sigourney Weaver membintangi “The Year of Living Dangerously” yang bertemakan panasnya politik di Tanah Air saat Presiden Soekarno sedang berkuasa. Karena Pemerintah menolak pengambilan gambar dilakukan di Indonesia, akhirnya tim produksi merelokasi tempat pengambilan gambar di Filipina. Sayang sekali sebenarnya. Karena bila pengambilan gambar dilakukan di sini, maka tim produksi tidak perlu merekonstruksi banyak detail yang sebenarnya sudah ada di lokasi asli. Juga tidak perlu mengajarkan orang-orang Filipina bahasa Indonesia sederhana.


Saat sebuah tim produksi memilih sebuah lokasi menjadi tempat pengambilan gambar, dampak yang akan segera terlihat memang di bidang pariwisata. Contoh paling mudah adalah “Laskar Pelangi,” atau saat diproduksi di Bali. Kini semua wisatawan yang berkunjung ke Bali pasti ingin melakukan napak tilas lokasi shooting film itu.

Untungnya jaman sudah berubah, dan pemerintah kini lebih terbuka dengan masalah perizinan. “The Philosophers” yang dibintangi Cinta Laura dan Bonnie Wright melakukan pengambilan gambar di banyak lokasi wisata eksotis di sini. Prambanan dan Bangka Belitung di antaranya. “Java Heat” yang dibintangi Ario Bayu, Mickey Rourke, dan Kellan Lutz juga menggunakan Indonesia sebagai lokasi pengambilan gambar. Cukup mengejutkan, karena “Java Heat” bercerita tentang gerakan terorisme yang sebenarnya cukup sensitif. Tapi intinya, kini film sekelas sudah lebih leluasa melakukan produksi di Indonesia karena pemerintah juga lebih bersikap terbuka. Mustahil terjadi belasan tahun lalu.


Talking about talents? Bakat-bakat lokal sudah mulai terpetakan secara global. Kita punya sutradara-sutradara yang membuat dunia film internasional membicarakan mereka karena karya-karyanya. Joko Anwar, Gareth Evans, Edwin “Babi Buta” dan “Postcards from The Zoo,” atau yang terakhir Mouly Surya dengan “"What They Don't Talk About When They Talk About Love" yang ditayangkan di Sundance.

Should we mention more about dan yang masing-masing segera membuat debut internastional mereka? Seusai “Brandal” yang kembali diarahkan oleh Gareth Evans, kami penasaran dengan respon apa yang akan diberikan Hollywood bagi penampilan . Cause she’s going to take part in it.

Satu hal yang juga masih dikeluhkan oleh pembuat film lokal, kita belum punya distributor. Kebanyakan pembuat film di Indonesia masih memasarkan film mereka sendiri. Kerja rodi yang masih disukai, tapi bila ada distributor film lokal maka saat film selesai dibuat, tugas distributor-lah membawa film ke cakupan lebih luas. Menemukan pembeli di luar, misalnya. Harus ada kolaborasi kreatif dari pemerintah dan para pembuat film untuk segera temukan pemecahan dari masalah ini. Mata rantai yang sebenarnya jadi penghambat produksi-produksi kita dikenal luas.


Dengan semua fakta-fakta positif ini, masa depan terlihat sudah cukup cerah bagi industri perfilman tanah air. Mungkin masih butuh 5 tahun lagi (atau lebih) sampai jadi sangat berkembang, dan film-film Hollywood akan melirik Indonesia jadi tempat produksi. Mengapa lima tahun? Banyak yang bisa terjadi dalam 5 tahun. Saat “The Raid” meledak di Box Office internasional banyak yang tidak menduga. Jadi dalam 5 tahun ke depan siap-siap saja dengan kejutan-kejutan yang mungkin akan muncul di dunia film lokal.



Bukan karena tenaga produksi murah, tapi karena kita adalah ‘emerging power in films’ di Asia. Pine Studios di Inggris sudah terkenal sebagai lokasi pengambilan gambar banyak film terkenal (termasuk franchise ). Beberapa kawasan di Eropa Timur sedang sangat disukai untuk lokasi pengambilan gambar, terakhir Russia untuk It’s time to expand the horizon. Lima tahun lagi, bisa jadi mercusuar perfilman di Asia Tenggara. Amin.



Sumber : http://id.berita.yahoo.com/tak-lama-lagi-indonesia-jadi-mercusuar-bisnis-film-073036245.html;_ylt=At1nKOuZK3S1azeBuzM70_N9V8d_;_ylu=X3oDMTM1amdtMXU1BG1pdANJbmZpbml0ZSBCcm93c2UgU3BsaXQEcGtnA2M5MmRkMGQ0LTUwNGYtMzk0OS1iYjY2LWZkN2I3ZGY3NjU5NwRwb3MDbDcEc2VjA21lZGlhaW5maW5pdGVicm93c2VsaXN0;_ylg=X3oDMTJyMGQzdmJrBGludGwDaWQEbGFuZwNpZC1pZARwc3RhaWQDMzdkYmIyMDgtMWFlMS0zMWY2LWIyNDQtMDRmOWE1NGZkODYxBHBzdGNhdANuYXNpb25hbARwdANzdG9yeXBhZ2U-;_ylv=3


Posting Komentar