JAKARTA–Salah satu upaya yang dilakukan perusahaan media cetak untuk dapat menjaga mutu pemberitaan serta mendapat kepercayaan tinggi dari pembacanya adalah dengan merekrut jurnalis dari para sarjana yang baru lulus , terutama dari bidang ilmu komunikasi.
Jurusan ilmu komunikasi yang memang secara khusus mengajarkan disiplin ilmu jurnalistik seharusnya menjadi andalan perusahaan pers dalam merekrut sumber daya para jurnalis baru yang berkualitas tinggi.
Namun kenyataannya, masih banyak keluhan dari perusahaan pers terhadap mutu para sarjana lulusan ilmu komunikasi dari berbagai perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri, terutama dalam hal kemampuan ragam bahasa Indonesia jurnalistik.
Salah satu contoh, pengamatan yang dilakukan terhadap 40 responden mahasiswa program studi ilmu komunikasi pada sebuah universitas swasta terkemuka di Jakarta Utara, pada semester genap 2011/2012 (April-Juni 2012) menunjukkan masih adanya kelemahan mereka dalam penerapan bahasa jurnalistik.
Kelemahan ini kemungkinan besar memang berasal dari lemahnya penguasaan bahasa Indonesia saat mereka di SMA.
Para mahasiswa saat mengerjakan tugas-tugas jurnalistik seringkali mengabaikan pakem-pakem ragam bahasa jurnalistik. Hal ini berakibat tugas jurnalistik yang dihasilkan mahasiswa masih memerlukan editing (penyuntingan) dan belum betul-betul memenuhi standar berita yang siap dipublikasikan.
Karena itu, sebuah penelitian sederhana dilakukan terhadap mereka untuk mengidentifikasi pada elemen-elemen mana saja dari 17 elemen ragam bahasa jurnalistik yang paling tidak dikuasai para mahasiswa ilmu komunikasi di perguruan tinggi swasta tersebut. Penelitian lebih mendalam masih diperlukan untuk memperkuat kesimpulan pada tulisan ini.
Tujuh belas elemen utama ragam bahasa jurnalistik, yakni 1.Sederhana , 2. Singkat , 3. Padat , 4. Lugas 5.Jelas, 6. Jernih , 7.Menarik , 8.Demokratis , 9.Populis, 10.Logis , 11.Gramatikal, 12.Menghindari kata tutur , 13.Menghindari kata dan istilah asing, 14.Pilihan kata (diksi) yang tepat , 15.Mengutamakan kalimat aktif , 16.Menghindari kata atau istilah teknis , 17.Tunduk kepada kaidah etika.
Hasil pengamatan ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan untuk perbaikan atau penguatan materi bahasa jurnalistik yang diberikan pada mahasiswa ilmu komunikasi di Indonesia.
Bahasa Jurnalistik Bahasa jurnalistik adalah sebuah ragam bahasa yang digunakan oleh para jurnalis dalam membuat produk jurnalistik (Haris Sumadiria : 2006). Ragam bahasa ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan bahasa Indonesia baku, terkecuali pada gayanya yang sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, mengutamakan kalimat aktif, menghindari kata atau istilah teknis serta tunduk pada kaidah dan etika bahasa baku (Hikmat Kusumaningrat : 2009) Menurut Tri Adi Sarwoko (2007) , bahasa yang digunakan media massa bersandar kepada bahasa baku, tetapi pemakaian bahasa baku di media massa memang berbeda. Struktur kalimatnya lebih longgar, tidak normatif.
Bahasa jurnalistik berada di antara ragam bahasa baku resmi dan santai, antara bahasa lisan dan tulisan. Dalam bahasa lisan, struktur kalimat dan pilihan katanya jelas sangat tidak cermat.
Ketika disalin menjadi bahasa tulis di media massa, tentu saja struktur kalimat dan pilihan katanya harus diperbaiki. Bagaimanapun, bahasa tulis memiliki aturan-aturan yang tak dapat dilanggar.
Bahasa jurnalistik adalah ragam bahasa yang digunakan para wartawan, redaktur, atau pengelola media massa dalam menyusun, menyajikan, memuat, menyiarkan, dan menayangkan berita serta laporan peristiwa atau pernyataan yang benar, aktual, penting.
Tujuannya, supaya isi berita mudah dipahami dan cepat ditangkap maknanya (Sumadiria : 2006).
Bahasa jurnalistik harus mudah dipahami oleh setiap orang yang membacanya karena tidak semua orang mempunyai cukup waktu untuk memahami isi tulisan yang dibuat oleh wartawan.
Jadi bahasa jurnalistik harus bisa dipahami oleh semua tingkatan masyarakat, termasuk masyarakat berintelektual rendah (Kunjana Rahardi : 2006) Eni Setiati (2005) menyatakan bahwa ciri-ciri yang harus dimiliki bahasa jurnalistik , yakni : Singkat : berarti langsung kepada pokok permasalahan (to the point) , tidak bertele-tele, tidak berputar-putar, tidak memboroskan waktu pembaca.
Padat : berarti sarat informasi. Setiap kalimat dan paragraf yang ditulis memuat banyak informasi dan menarik untuk khalayak pembaca. Sederhana : selalu mengutamakan dan memilih kata atau kalimat yang paling banyak diketahui maknanya oleh khalayak pembaca yang sangat heterogen.
Lugas : berarti tegas, tidak ambigu, sekaligus menghindari eufemisme atau penghalusan kata dan kalimat yang membingungkan khalayak pembaca sehingga terjadi perbedaan persepsi dan kesalahan konklusi.
Kata yang lugas selalu menekankan pada satu arti serta menghindari kemungkinan adanya penafsiran lain terhadap arti dan makna kata tersebut.
Menarik , artinya mampu membangkitkan minat dan perhatian khalayak pembaca, memicu selera baca. Bahasa jurnalistik berpijak pada prinsip : menarik, benar, dan baku.
Jelas, berarti mudah ditangkap maksudnya, tidak baur dan kabur. Sebagai contoh, hitam adalah warna yang jelas. Putih adalah warna yang jelas. Jelas di sini mengandung tiga arti : jelas artinya, jelas susunan kata atau kalimatnya sesuai dengan kaidah subjek-objek-predikat-keterangan (SPOK), jelas sasaran atau maksudnya.
Sementara itu , Haris Sumadiria (2006) menambahkan beberapa ciri lagi yang harus dimiliki pada bahasa jurnalistik, yakni : jernih , yang berarti bening, tembus pandang , transparan, jujur, tulus, tidak menyembunyikan sesuatu yang lain yang bersifat negatif seperti prasangka atau fitnah.
Demokratis : berarti bahasa jurnalistik tidak mengenal tingkatan, pangkat, kasta atau perbedaan dari pihak yang menyapa maupun yang disapa. Bahasa jurnalistik menekankan aspek fungsional dan komunal, sehingga sama sekali tidak dikenal pendekatan feodal sebagaimana dijumpai pada masyarakat dalam lingkungan bangsawan.
Populis, berarti setiap kata, istilah, atau kalimat apa pun yang terdapat dalam karya-karya jurnalistik harus akrab di telinga, di mata, dan di benak pikiran khalayak pembaca, pendengar, atau pemirsa. Bahasa jurnalistik harus merakyat, artinya diterima dan diakrabi oleh semua lapisan masyarakat.
Logis, berarti apa pun yang terdapat dalam kata, istilah, kalimat, atau paragraf jurnalistik harus dapat diterima dan tidak bertentangan dengan akal sehat. Bahasa jurnalistik harus dapat diterima dan sekaligus mencerminkan nalar.
Gramatikal , maksudnya, kata, istilah, atau kalimat apa pun yang dipakai dan dipilih dalam bahasa jurnalistik harus mengikuti kaidah tata bahasa baku. Bahasa baku artinya bahasa resmi sesuai dengan ketentuan tata bahasa serta pedoman ejaan yang disempurnakan berikut pedoman pembentukan istilah yang menyertainya.
Menghindari kata tutur , artinya kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari secara informal. Kata tutur ialah kata-kata yang digunakan dalam percakapan di warung kopi, terminal, bus kota, atau di pasar.
Menghindari kata atau istilah asing, maksudnya berita atau laporan yang banyak diselipi kata-kata asing, selain tidak informatif dan komunikatif, juga membingungkan.
Pilihan kata (diksi) yang tepat : bahasa jurnalistik sangat menekankan efektifitas. Setiap kalimat yang disusun tidak hanya produktif tetapi juga tidak boleh keluar dari asas efektifitas.
Mengutamakan kalimat aktif : kalimat aktif lebih mudah dipahami dan lebih disukai oleh khalayak pembaca daripada kalimat pasif. Sebagai contoh : Presiden mengatakan , bukan dikatakan oleh Presiden.
Menghindari kata atau istilah teknis , karena ditujukan untuk umum , maka bahasa jurnalistik harus mudah dipahami, ringan dibaca, tidak membuat kening berkerut apalagi sampai membuat kepala berdenyut. Salah satu cara untuk itu ialah dengan menghindari penggunaan kata atau istilah-istilah teknis.
Tunduk pada kaidah etika : salah satu fungsi utama pers adalah edukasi, mendidik. Fungsi ini bukan hanya harus tercermin pada materi isi berita, laporan , gambar dan artikel-artikelnya, melainkan juga harus tampak pada bahasanya.
Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian terhadap produk feature profile yang diserahkan mahasiswa.
Metode penelitian adalah melalui penghitungan jumlah kesalahan yang dibuat mahasiswa untuk mata kuliah Writing for Media untuk penugasan pembuatan satu tugas feature profile.
Jumlah mahasiswa tercatat 40 orang , sehingga terdapat 40 karya feature yang dibuat mahasiswa selama rentang waktu April-Juni 2012.
Pada setiap feature profile yang dibuat seorang mahasiswa, diidentifikasi kesalahan apa yang terbanyak dibuat seorang mahasiswa dari total 17 elemen ragam bahasa jurnalistik.
Dari 40 feature tersebut , diperoleh persentase jenis kesalahan pada ragam bahasa jurnalistik dengan parameter 17 elemen utama ragam bahasa jurnalistik sebagai berikut : Persentase kesalahan pada elemen :1.Sederhana : 7,5 %, 2. Singkat : 5 %, 3. Padat : 2,5 %, 4. Lugas : 2,5 %, 5.Jelas : 5 %, 6. Jernih : 2,5 %, 7.Menarik : 7,5 %, 8.Demokratis ; 2,5 %, 9.Populis : 2,5 %, 10.Logis :7,5 %, 11.Gramatikal : 10 %.
Berikutnya, 12.Menghindari kata tutur : 15 % , 13.Menghindari kata dan istilah asing : 10 % , 14.Pilihan kata (diksi) yang tepat : 2,5 %, 15.Mengutamakan kalimat aktif : 10 %, 16.Menghindari kata atau istilah teknis : 5 % 17.Tunduk kepada kaidah etika : 2,5 % Hasil pengamatan ini menunjukkan terdapat empat kesalahan tertinggi yakni :1.Kalimat yang menggunakan bahasa/kata tutur (15 %), 2.Penggunaan kata/istilah asing (10 %), 3.Kesalahan gramatikal (10 %), 4. Tidak mengutamakan kalimat aktif ( 10 %).
Contoh kesalahan menggunakan bahasa/kata tutur : “Dia nggak tahu kalau dia bakalan jadi seorang pegiat di masa depan.” Kata “nggak” dan “bakalan” adalah gaya bahasa tutur, bukan gaya bahasa tertulis.
Contoh kesaan penggunaan kata/istilah asing : “Dia adalah seorang ‘survivor’ kekerasan seksual.” Kata “survivor” sudah ada serapannya dalam bahasa Indonesia, yakni “penyintas”.
Contoh kesalahan gramatikal yang ditemui , seperti kalimat : “Dengan piawai dan kewibawaan ketika dia berbicara dan memberikan penjelasan tentang isu itu. ” Kalimat tersebut menggantung.
Contoh kesalahan tidak mengutamakan kalimat aktif : ” Para korban KDRT banyak dibantu oleh para penyintas (‘survivor’).” Kalimat tersebut merupakan kalimat pasif.
Seharusnya selama sebuah kalimat dapat dibuat menjadi kalimat aktif dan obyek kalimat bukan sesuatu hal yang perlu terlalu ditonjolkan, maka gunakan kalimat aktif.
Kesimpulan sementara yang dapat ditarik dari pengamatan sederhana ini adalah sebagian besar mahasiswa di universitas ini lemah dalam penguasaan bahasa Indonesia , apalagi dalam ragam bahasa Indonesia jurnalistik.
Kelemahan mahasiswa dalam ragam bahasa jurnalistik teridentifikasi pada empat elemen , yakni 1.Kalimat yang menggunakan bahasa/kata tutur, 2.Penggunaan kata/istilah asing , 3,Kesalahan gramatikal, , 4.Tidak mengutamakan kalimat aktif.
Ada beberapa saran untuk memperbaiki kemampuan mahasiswa dalam berbahasa jurnalistik, yakni pada bidang penjurusan ilmu komunikasi sebaiknya memiliki mata kuliah khusus , yakni mata kuliah bahasa jurnalistik, karena tidak semua jurusan ilmu komunikasi di perguruan tinggi memiliki mata kuliah ini.
Selain itu, sebaiknya pada mata kuliah bahasa jurnalistik ini lebih ditekankan pada empat elemen penting yang kurang dikuasai mahasiswa yakni 1.Kalimat yang menggunakan bahasa/kata tutur, 2.Penggunaan kata/istilah asing, 3,Kesalahan gramatikal, 4.Tidak mengutamakan kalimat aktif.
Written by Yuri Alfrin Aladdin/Antara
Posting Komentar